Pasar mata uang kripto kembali menjadi pusat perhatian seiring dengan masuknya modal besar dari investor institusional global, termasuk BlackRock. Pola ini mengingatkan pada lonjakan saham-saham teknologi seperti Nvidia, Microsoft, dan Meta, yang kemudian beralih ke Bitcoin dan aset digital lainnya. Arus dana ini tidak hanya memperkuat daya tarik spekulatif kripto, tetapi juga semakin mengukuhkannya sebagai aset investasi yang mulai diterima di kalangan institusi keuangan besar.

Namun, daya tarik Bitcoin tidak hanya berasal dari sentimen pasar. Keterbatasan pasokan yang hanya 21 juta koin, ditambah dengan semakin luasnya adopsi teknologi blockchain, menjadikan kripto lebih dari sekadar tren sesaat. Meski demikian, di balik optimisme ini, muncul pertanyaan besar: seberapa kuat fundamental yang menopang lonjakan harga ini? Dan apakah tren ini akan bertahan dalam jangka panjang?

Saat ini, Bitcoin berada dalam fase konsolidasi dengan kisaran harga 84.000 dolar AS sebagai level resistance dan 81.500 dolar AS sebagai support. Tanpa adanya katalis besar dalam waktu dekat, pasar tampaknya masih berada dalam mode “wait and see”. Bagi investor ritel, volatilitas ini bisa menjadi peluang, tetapi juga penuh risiko. Strategi umum yang digunakan adalah membeli di level support dan menjual di area resistance, namun keberhasilan strategi ini bergantung pada disiplin eksekusi dan manajemen risiko yang ketat.

Posisi Indonesia

Di Indonesia, pendekatan terhadap kripto masih berhati-hati dibandingkan dengan negara lain. Meskipun Robby, Ketua Umum Asosiasi Blockchain dan Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo-ABI), menyatakan bahwa Indonesia telah muncul sebagai salah satu pemain besar dalam industri kripto global, realitanya masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Infrastruktur digital dan sistem keuangan domestik masih dalam tahap adaptasi untuk mengakomodasi aset digital secara lebih luas.

Peralihan pengawasan dari Bappebti ke OJK pada Januari 2025 membawa harapan baru bagi regulasi yang lebih ketat dan perlindungan investor yang lebih baik. Data dari OJK menunjukkan bahwa nilai transaksi aset kripto di Indonesia melonjak 104,31 persen dalam setahun, mencapai Rp44,07 triliun pada Januari 2025. Lonjakan ini menandakan minat yang semakin besar dari masyarakat, tetapi juga menunjukkan bahwa regulasi harus berkembang seiring dengan pertumbuhan pasar.

Wan Iqbal, Chief Marketing Officer Tokocrypto, menilai bahwa kejelasan regulasi dari OJK telah meningkatkan kepercayaan investor. Namun, tantangan terbesar bukan hanya regulasi, tetapi bagaimana industri keuangan Indonesia beradaptasi dengan teknologi blockchain tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi.

Pertanyaan besar yang kini mulai bergulir adalah apakah Indonesia akan mengikuti jejak negara lain dalam memasukkan Bitcoin ke dalam cadangan asetnya? Sejauh ini, pemerintah masih fokus pada penguatan infrastruktur digital sebelum membuat langkah besar dalam investasi kripto secara resmi. Model yang lebih realistis bagi Indonesia adalah memanfaatkan lembaga seperti BPI Danantara dan Sovereign Wealth Fund (SWF) untuk membangun eksposur terhadap aset digital. Pendekatan ini akan memungkinkan negara memperoleh manfaat dari kenaikan nilai Bitcoin tanpa membebani sistem keuangan dengan volatilitas yang tinggi.

Langkah Strategis

Menurut Hasan Fawzi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, transisi pengawasan ke OJK telah meningkatkan minat masyarakat untuk berinvestasi di aset kripto. OJK kini telah memberikan izin kepada 19 entitas perdagangan aset kripto dan sedang memproses perizinan bagi 14 calon pedagang lainnya.

Namun, regulasi saja tidak cukup. Jika Indonesia ingin memanfaatkan peluang dari ekonomi digital, perlu ada langkah konkret dalam beberapa aspek, di antaranya memperkuat infrastruktur blockchain. Tanpa sistem yang andal, transaksi kripto di Indonesia akan tetap bergantung pada platform asing. Kemudian, dukungan dari sektor perbankan juga penting, di mana bank dan lembaga keuangan harus lebih terbuka dalam mengintegrasikan aset digital ke dalam sistem mereka.

Seiring dengan itu, perluasan pendidikan dan literasi keuangan digital juga sangat penting. Masih banyak investor ritel yang terjun ke kripto tanpa pemahaman yang cukup tentang risikonya. Secara umum, Indonesia berada di titik di mana langkah yang diambil dalam beberapa tahun ke depan akan menentukan apakah negara ini hanya menjadi pasar pengguna, atau justru menjadi pemain utama dalam industri blockchain global.

Meskipun prospek kripto di Indonesia terlihat menjanjikan, masih banyak tantangan yang perlu diatasi. Regulasi, infrastruktur, dan kesiapan sektor keuangan menjadi faktor utama yang akan menentukan bagaimana kripto berkembang di tanah air. Bitcoin mungkin belum menjadi bagian dari cadangan aset negara dalam waktu dekat, tetapi tren global menunjukkan bahwa kemungkinan tersebut tidak bisa diabaikan.

Dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa memanfaatkan revolusi aset digital ini tanpa harus menghadapi risiko yang terlalu besar. Namun, bagi investor individu, volatilitas tetap menjadi tantangan utama. Sebelum memutuskan untuk berinvestasi, penting untuk memahami bukan hanya potensi keuntungan, tetapi juga risiko yang ada. Bagi investor yang paham seluk-beluk pasar kripto, volatilitas bukan ancaman, melainkan kesempatan. Tetapi bagi yang sekadar ikut tren, ini bisa menjadi jebakan yang merugikan.