
JAKARTA – Pelaku industri aset kripto menyambut baik rencana pemerintah untuk menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada transaksi perdagangan aset kripto. Meski demikian, Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi ini direncanakan tetap diberlakukan dengan tarif 0,2 persen.
Saat ini, Indonesia mengenakan pajak final sebesar 0,1 persen untuk PPh dan 0,11 persen untuk PPN pada transaksi aset kripto melalui bursa berizin, sehingga total pajak mencapai 0,2 persen.
PPN sebesar 0,11 persen berlaku untuk transaksi melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) resmi, dan tarif ini bisa naik menjadi 0,22 persen bila transaksi dilakukan di luar PFAK. PPh sebesar 0,1 persen dikenakan secara otomatis di platform perdagangan resmi.
Chairman Indodax, Oscar Darmawan, berharap pemerintah dapat mengevaluasi tarif PPh sehingga menjadi sebesar 0,1 persen saja, sejalan dengan tarif untuk transaksi saham.
Menurut Oscar, penghapusan PPN menandai pengakuan resmi dari pemerintah bahwa aset kripto merupakan aset keuangan. Selama ini, kripto diperlakukan sebagai komoditas yang dikenai PPN dan PPh.
“Dengan penghapusan PPN, ini berarti kripto diakui sebagai aset keuangan, serupa dengan perdagangan saham yang tidak dikenakan PPN. Ini tentu langkah positif,” ujar Oscar.
Potensi Kripto sebagai Alat Transaksi
Oscar juga menyoroti keuntungan jika aset kripto dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Salah satunya adalah mempercepat perputaran ekonomi, mengingat likuiditas kripto saat ini cukup baik.
Ia mencontohkan, jika turis asing yang datang ke Indonesia dapat menggunakan kripto untuk bertransaksi langsung, maka mereka tidak perlu repot menukar mata uang. Hal ini pun berpotensi meningkatkan devisa masuk ke Indonesia.
Meski begitu, saat ini penggunaan kripto sebagai alat pembayaran di Indonesia masih terbentur aturan. Undang-Undang Mata Uang mewajibkan seluruh transaksi menggunakan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.
Selain itu, Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 melarang lembaga keuangan menggunakan atau memfasilitasi kripto sebagai alat pembayaran maupun jasa keuangan.
“Oleh karena itu, agar kripto bisa dipakai sebagai alat pembayaran sah, perlu ada revisi terhadap kedua regulasi tersebut, baik undang-undang maupun PBI,” tutur Oscar.