Jakarta — Bitcoin mengalami kenaikan hampir 4% setelah The Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga dalam kisaran 4,25% hingga 4,5%. Saat ini, Bitcoin diperdagangkan sekitar USD 85.000 atau setara dengan Rp 1,40 miliar (dengan asumsi kurs Rp 16.530 per dolar AS), mendekati angka psikologis USD 90.000.
Dilansir dari Yahoo Finance pada Kamis (20/3/2025), meskipun The Fed tidak langsung memangkas suku bunga, mereka tetap mengindikasikan kemungkinan dua kali pemangkasan pada tahun 2025. Keputusan ini memberikan sinyal yang beragam bagi aset berisiko seperti Bitcoin.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi AS
The Fed juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk 2025 menjadi 1,7%, turun 0,4% dari perkiraan sebelumnya pada Desember. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran tentang perlambatan ekonomi. Selain itu, ekspektasi inflasi yang meningkat membuat The Fed semakin berhati-hati dalam mengambil langkah kebijakan.
Bank sentral AS juga mengumumkan perlambatan lebih lanjut dalam kebijakan “pengetatan kuantitatif,” yang berarti mereka akan lebih lambat dalam mengurangi kepemilikan obligasi. Keputusan ini menunjukkan sikap yang lebih lunak (dovish), meskipun beberapa analis menilai hal ini belum cukup untuk mendorong reli besar dalam harga Bitcoin.
Jika Inflasi Turun, The Fed Percepat Penurunan Suku Bunga
Pasar saham merespons keputusan The Fed dengan optimisme. Indeks Dow Jones Industrial Average naik 300 poin atau 0,7%, S&P 500 naik 1%, dan Nasdaq Composite memimpin kenaikan dengan lonjakan 1,4%.
Analis kripto dari 21Shares, Matt Mena, mengatakan jika inflasi terus menurun, The Fed mungkin akan mempercepat pemangkasan suku bunga. “Penurunan inflasi dapat mendorong The Fed untuk mempercepat penurunan suku bunga, yang biasanya menyediakan lebih banyak likuiditas ke pasar, sehingga meningkatkan harga Bitcoin dan aset berisiko lainnya,” ujarnya.
Arus Keluar ETF Bitcoin
Dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) Bitcoin di Amerika Serikat mencatat penarikan dana bersih mingguan terpanjang sejak pertama kali diluncurkan pada Januari tahun lalu. Dalam lima minggu terakhir, total dana yang ditarik dari 12 ETF Bitcoin ini mencapai lebih dari USD 5,5 miliar, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.
Arus keluar besar-besaran ini dimulai setelah Donald Trump kembali ke Gedung Putih, yang menandakan bahwa investor kripto lebih khawatir terhadap kebijakan ekonomi dan perang dagang yang dipicunya dibandingkan kebijakan ramah kripto yang ia janjikan.
Greg Magadini, Direktur Derivatif di Amberdata, mengatakan Bitcoin dan aset kripto secara keseluruhan masih sangat dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi saat ini. “Saya tidak melihat Bitcoin akan bergerak secara independen dari aset berisiko dalam waktu dekat,” kata Magadini, dikutip dari Yahoo Finance, Selasa (18/3/2025).
Bitcoin sempat mencapai rekor tertinggi setelah kemenangan Trump dalam pemilu November lalu, tetapi mengalami penurunan yang cukup signifikan sepanjang tahun 2025. Hingga saat ini, Bitcoin telah turun sekitar 12% sejak awal tahun dan diperdagangkan di kisaran USD 83.500 pada pukul 10 pagi waktu London.
Dengan tekanan dari kebijakan ekonomi global serta ketidakpastian pasar, investor tampaknya mulai mengurangi eksposur mereka terhadap aset-aset berisiko seperti Bitcoin. Ke depan, masih perlu dilihat apakah tren arus keluar ini akan terus berlanjut atau pasar kembali stabil.
Bank Sentral Korsel Tolak Bitcoin Jadi Aset Cadangan
Sebelumnya, Bank Sentral Korea Selatan secara resmi mengumumkan mereka tidak akan memasukkan Bitcoin ke dalam cadangan devisa nasionalnya. Dalam pernyataan yang dirilis pada 16 Maret, bank tersebut menegaskan bahwa aset digital seperti Bitcoin tidak memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi bagian dari cadangan negara.
Keputusan ini muncul setelah Cha Gyu-geun dari Komite Perencanaan dan Keuangan Majelis Nasional mengajukan penyelidikan terkait kemungkinan memasukkan Bitcoin sebagai cadangan devisa. Bank Korea menolak gagasan tersebut dengan alasan bahwa volatilitas Bitcoin yang ekstrem dapat memicu risiko besar terhadap stabilitas ekonomi.
Bank Korea juga menyoroti bahwa Bitcoin sering mengalami fluktuasi harga yang tajam, yang dapat menyebabkan penurunan nilai yang signifikan dalam situasi pasar yang tidak stabil. Selain itu, proses likuidasi aset digital ini bisa menimbulkan biaya transaksi yang tinggi.
“Aset cadangan harus stabil dan dapat diandalkan dalam kondisi ekonomi apa pun. Bitcoin tidak memenuhi syarat tersebut karena volatilitasnya yang ekstrem,” jelas Bank Korea dalam pernyataan resminya.
Berlawanan dengan Tren Global
Keputusan ini tampaknya bertolak belakang dengan arah kebijakan regulasi kripto yang mulai lebih fleksibel di Korea Selatan. Negara tersebut sedang merencanakan pelonggaran aturan terkait perdagangan mata uang kripto bagi institusi keuangan, setelah sebelumnya menerapkan larangan yang ketat.
Di tingkat global, beberapa negara mengambil pendekatan berbeda terhadap Bitcoin sebagai aset cadangan. Republik Ceko dan Brasil sedang mengevaluasi kemungkinan memasukkan aset digital dalam cadangan mereka. Jepang, Swiss, dan Uni Eropa masih menganggap Bitcoin sebagai aset berisiko tinggi, tetapi tetap membuka ruang bagi penggunaannya di sektor keuangan.
Sementara itu, Amerika Serikat telah mengambil langkah yang berbeda dengan membentuk Cadangan Bitcoin Strategis, yang berisi aset digital yang disita oleh pemerintah federal melalui perintah eksekutif pada bulan Maret. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pandangan di antara berbagai negara mengenai peran Bitcoin dalam sistem keuangan nasional mereka.